Penulis buku berjudul Jokowi Undercover Bambang Tri Mulyono segera menghadapi sidang ketiganya sebagai terdakwa kasus dugaan penyebaran kebencian lewat buku tersebut.
Dalam sidang kedua, didampingi pengacaranya, Bambang Tri keberatan terhadap saksi dari JPU yang dinilai melakukan kebohongan dalam kesaksiannya. Untuk itu, ia mengeluarkan pledoi (pembelaan) terhadap sidang tersebut.
Mencermati isi pledoi Bambang Tri sangat menarik. Salah satu poin pentingnya adalah soal ilmiah atau tidaknya buku Jokowi Undercover. Selebihnya, proses penetapan Bambang Tri sebagai tersangka lalu didakwa di pengadilan. Bambang Tri pun melawan atas sangkaan yang dialamatkan kepada dirinya.
Presiden Jokowi, Kapolri Tito dan penyiar Kompas TV Aiman Wicaksono kompak berkampanye bahwa Jokowi Undercover adalah buku ecek-ecek alias tidak ilmiah. Memangnya Tito itu rektor UI atau rektor ITB? Rezim ini sedang panik, mereka hendak memonopoli narasi kebenaran publik. Membaca Jokowi Undercoverdilarang. Dalilnya adalah kalau mereka begitu saja melarang sesuatu (buku) maka berarti mereka sedang menutupi/menyembunyikan sesuatu. Buku dinyatakan tidak ilmiah tapi dilarang dibahas secara ilmiah di kampus,” demikian isi pledoi Bambang Tri seperti dikutip Nusantaranews.
Dalam pledoinya ini, Bambang Tri tak sungkan menyebut penegakkan hukum menggunakan jurus dewa mabuk. “Justru Hendro Priyono (mantan kepala BIN) dan Michael Bimo Putranto (importir bus trans Jakarta) yang melaporkan buku saya ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Mengapa tidak sekalian presiden ikut melaporkan saya, karena dia adalah prinsipal yang saya tulis dibuku saya? Judulnya saja Jokowi Undercover bukan Hendro dan Bimo Undercover. Jadi pertanyaan saya jelas. Mengapa Presiden tidak membuat laporan polisi tapi memerintahkan Kapolri menangkap saya dan melarang peredaran buku saya? Buat apa Titongomong equality before the law, bukankah ini sebuah bentuk intervensi kekuasaan dalam proses penegakan hukum? Presiden boleh berdalih dia tidak memerintahkan penangkapan saya dan pelarangan buku itu,” tulis Bambang Tri lanjut.
Sosok yang justru tidak luput dari serangan Bambang Tri dalam pledoinya adalah Tito Karnavian. Pasalnya, menurut Bambang Tri, Tito tidak berhak menilai buku Jokowi Undercover tak ilmiah, karena Tito bukanlah seorang akademisi.
“Rupanya Tito ini mau menjadi super hero, jadi Kapolri, jadi hakim dan jadi akademisi penilai buku saya. Memangnya Tito ini hakim, kok bisa memvonis Bambang Tri bersalah. Memangnya Tito ini rektor UI atau Informasinya ITB? Kok bisa menilai buku Jokowi Undercover tidak ilmiah? Memangnya Tito ini pedagang beras atau miras kok bisa mencampur pasal-pasal oplosan?” tulisnya sembari mengutip pertanyaan dari profesor Tamim Pardede, profesor Rocky Gerung dan dirinya sendiri.
Selanjutnya, Bambang Tri juga menyorot tajam tuduhan Tito Karnavian terhadap dirinya selain menuding buku Jokowi Undercover tak ilmiah. Tito juga pernah menyebut bahwa Bambang Tri bukan sarjana strata satu (S1) hingga menuding kemampuan menulis Bambang Tri berantakan.
“Lalu Tito berteriak ‘Akan kita cari dalang di balik Bambang Tri yang mengajari Bambang Tri menulis Jokowi Undercover!’ Sampai sekarang, Tito hanya omong besar, dia tidak bisa menemukan dalang itu, karena dalangnya memang tidak ada dan hanya ada dalam imajinasi tingkat dewa Tito Karnavian,” tulisnya lagi.
Terlepas dari itu, sikap Tito sebetulnya memang sudah menjadi sorotan sedari awal. Khususnya pada saat dirinya ditunjuk dan diangkat menjadi Kapolri. Kotroversi seputar penunjukkan Tito sebagai Kapolri sempat memanas di awal sampai akhirnya Tito dilantik. Sorotan kepada Tito mencuat sejak dirinya dimutasi menggantikan Irjen Pol Unggung Cahyono sebagai Kapolda Metro Jaya. Tak berapa lama, sesuai dengan telegram nomor ST/604/III/2016 per tanggal (14/3/2016), Tito kembali dipromosikan menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggantikan Komjen (Pol) Usman Saud Nasution yang memasuki masa pensiun. Secara otomatis pangkatnya dinaikkan menjadi bintang tiga atau Komisaris Jenderal Polisi.
Karir Tito sangat cemerlang. Sebagian kalangan menduga kecemerlangan karir Tito karena faktor kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo. Bahkan sempat disebut-sebut memiliki hubungan khusus sebagaimana disinyalir oleh Riza Chalid dalam rekaman kasus ‘Papa Minta Saham’. Dalam Sidang Etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dalam rekaman, Riza Chalid menyinggung soal penempatan Tito di Polda Metro Jaya adalah atas permintaan Presiden Jokowi.
Lebih dari itu, seperti diketahui, banyak pengamat menilai bahwa akan terjadi kerusakan dalam proses regenerasi di tubuh Polri bila Tito menjadi Kapolri. Bukan saja rusak, malah bisa menimbulkan komplikasi akut di tubuh Polri. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi dalam proses penegakan hukum, apalagi bila calon Kapolrinya, belum-belum sudah diduga terlibat dalam mega skandal Papa Minta Saham.
Kini, kecurigaan sebagian kalangan terhadap sosok Tito Karnavian di Polri perlahan tapi pasti mulai terungkap. Setidaknya, dalam kasus Bambang Tri, termasuk juga kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok; di mana Tito selalu tampil sebagai super hero.
Dalam kasus Ahok, misalnya, Tito secara tiba-tiba tampil sebagai seorang ahli tafsir al-Qur’an. Begitu pula, dalam kasus Bambang Tri, Tito tampil sebagai sosok akademisi, penilai buku dan hakim. Mungkin kita patut bangga memiliki seorang Kapolri yang sungguh multitalenta dan multidisipliner, yang menguasai berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan serta bisa memerankan beragam peran!
http://laskarsyahadat.blogspot.co.id/2017/03/tidak-disiarkan-tv-inilah-pledoi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar