Cara Membersihkan Najis
|
Para ulama membagi najis dibagi menjadi tiga: Najasah
mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah, Najasah mukhaffafah (ringan),
Najasah mutawashitah (pertengahan). Berikut ini cara membersihkan najis
berdasarkan jenisnya.
Najasah atau najis secara bahasa
artinya kotoran. Najasah atau najis dalam istilah
syariat adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat. Dalam Ar Raudhatun Nadiyyah disebutkan,
النجاسات جمع نجاسة, و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و
يغسلون الثياب إذا أصابهم كالعذرة و البول
“Najasat adalah bentuk jamak dari najasah,
ia adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang-orang yang memiliki
fitrah yang bersih dan mereka akan berusaha menjauhinya dan membersihkan
pakaiannya jika terkena olehnya semisal kotoran manusia dan air seni”1.
Dalam Al Fiqhul Muyassar disebutkan,
النجاسة: هي كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها
Dari penyataan “dianggap kotor oleh syariat” dalam
definisi-definisi yang disebutkan para ulama menunjukkan bahwa tidak semua yang
kotor menurut manusia itu adalah najis dalam istilah syar’i, dan juga
menunjukkan bahwa menentukan najis atau tidaknya sesuatu itu harus dilandasi
dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya sesuatu tersebut, maka ia
suci. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan:
يجب أن يعلم أن الأصل في جميع
الأشياء الطهارة فلا تنجس و لا ينجس منها إلا ما دل عليه الشرع
“wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci,
maka tidak boleh mengatakan ia sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada
dalil dari syariat”3.
Maka najis tidak bisa ditentukan dengan akal atau perasaan
seseorang bahwa sesuatu itu najis, melainkan harus berdasarkan dalil. Dan
yang dituntut dari kita terhadap najis adalah kita diperintahkan untuk
menjauhinya dan membersihkan diri darinya jika terkena najis.
Kemudian, najis berbeda dengan pembatal wudhu. Dan jika seseorang
terkena najis, wudhunya tidak menjadi batal, namun ia wajib membersihkan najis
tersebut
Perintah
membersihkan najis
Syariat memerintahkan kita untuk membersihkan diri dari najis
dalam banyak dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“dan pakaianmu sucikanlah”
(QS. Al Mudatsir: 4).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَعَهِدْنَا إِلَى
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan kami perintahkan kepada Ibrahim dan
Ismail untuk mensucikan rumah-Ku bagi orang-orang yang ber-thawaf, ber-i’tikaf
dan orang-orang yang rukuk dan sujud” (QS. Al Baqarah: 125).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ أَمَا إِنَّهُمَا
لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ
يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ لا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melewati dua kuburan. Lalu
beliau bersabda: “kedua orang ini sedang diadzab, dan mereka diazab bukan
karena dosa besar. Orang yang pertama diadzab karena berbuat namimah (adu
domba). Adapun yang kedua, ia diadzab karena tidak membersihkan diri dari sisa
kencingnya”” (HR. Muslim no. 292).
Dan dalil-dalil yang lainnya.
Cara
membersihkan najis
Para ulama membagi najis dibagi menjadi tiga:
- Najasah
mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah
- Najasah
mukhaffafah (ringan)
- Najasah
mutawashitah (pertengahan)
1.
Cara membersihkan najasah
tsaqilah
Misalnya najis dari anjing dan babi, maka membersihkannya dengan
tujuh kali cucian, dan cucian yang pertama menggunakan tanah atau
semacamnya. Syaikh As Sa’di menyatakan: “Najis dari anjing dan semua yang
berasal dari babi cara mencucinya harus dengan tujuh kali cucian, dan
cucian yang pertama menggunakan tanah atau semacamnya” 4.
Dalilnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ
إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ
بِالتُّرَابِ
“cara mensucikan bejana dari seseorang di
antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, cucian
yang pertama menggunakan tanah” (HR. Al Bukhari no. 182,
Muslim no. 279).
Dan babi juga demikian, berdasarkan qiyas min baabil aula. Karena babi lebih buruk dari
pada anjing5.
2.
Cara membersihkan najasah
mukhaffafah
Najasah yang mukhaffah ada
3 macam di lihat dari cara membersihkannya:
a. Dengan cara memercikkan air sekali percikan
Syaikh As Sa’di menyatakan: “air kencing anak laki-laki yang belum
memakan makanan karena syahwat (untuk makan) maka ini semua cukup dipercikkan
air sekali saja, ini merupakan salah satu pendapat dari madzhab (Hambali),
sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih. Demikian juga muntahnya
anak-anak, itu statusnya lebih ringan daripada air kencingnya. Demikian juga
madzi, menurut pendapat yang shahih, ia juga cukup dipercikkan air saja,
sebagaimana terdapat dalam hadits, dan ini semua selaras dengan hikmah
keringanan dalam masyaqqah”6.
Berikut perincian dalilnya:
- Air kencing anak laki-laki yang belum memakan makananHadits dari Abu Samh Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ
الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Air kencing anak perempuan itu
dicuci, sedangkan air kencing anak laki-laki itu dipercikkan” (HR.
Abu Daud 377, An Nasa’i 303, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An
Nasa’i).
- Muntahnya
anak laki-laki yang belum memakan makanan, diqiyaskan dengan air kencing.
- MadziBerdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata:
أرسَلْنا المِقْدَّادَ بنَ
الأسودٍ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،فسألَه عن المَذْيِ يَخْرُجُ مِنَ
الإنسانِ كيفَ يَفْعَلُ به ؟ فقال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : تَوَضَّأْ
،وانْضَّحْ فَرْجَكَ
“Miqdad bin Al Aswad mengutusku kepada
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu aku bertanya mengenai madzi yang
keluar dari seseorang, bagaimana menyikapinya? Lalu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘berwudhulah dan percikkan kemaluanmu
dengan air‘” (HR. Muslim 303).
b. Dengan menyiramnya sekali siram atau
secukupnya hingga hilang inti objeknya
Ini berlaku pada semua najis yang ada di atas permukaan lantai
atau tanah. Syaikh As Sa’di menyatakan: “Najis jika berada di atas
permukaan tanah atau lantai maka cukup disiram dengan sekali
siraman yang membuat ‘ainun najasah (inti dari objek najis) hilang,
sebagaimana perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menyiram air kencing orang badwi
dengan seember air”7.
Dalilnya hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ
فِي طَائِفَةِ المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، «فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ»
“Seorang arab badwi kencing di satu bagian
masjid, maka orang-orang pun hendak memarahinya. Namun Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mereka. Ketika ia selesai kencing, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
memerintahkan untuk menyiram air kencingnya dengan seember air”
(HR. Bukhari no. 221, Muslim no. 284).
Dari hadits ini jelas bahwa najis yang ada di permukaan lantai
atau tanah maka cukup hingga hilang ‘ainun najasah (inti dari objek najis), tidak harus hilang
100%. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hanya
memerintahkan untuk menyiram air kencing orang badwi tersebut dengan air
seember yang tentu belum menghilangkan semua najisnya 100%.
c. Dengan menyentuhkan pada debu atau tanah
Yaitu najis yang ada pada bagian bawah sepatu dan alas kaki
lainnya, juga pada bagian bawah pakaian wanita yang terkena tanah. Syaikh As
Sa’di menjelaskan: “Najis yang ada pada bagian bawah sepatu dan alas kaki
lainnya, cukup disentuhkan pada permukaan tanah atau pada debu, sebagaimana
terdapat dalam hadits shahih. Dan ini yang sesuai dengan hikmah
syar’iyyah”.
Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ
فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا
نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَاتَهُ، قَالَ: «مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ»، قَالُوا:
رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا – أَوْ قَالَ:
أَذًى – ” وَقَالَ: ” إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ:
فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ
فِيهِمَا “
“Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam shalat bersama para sahabatnya, beliau melepaskan kedua sandalnya dan
meletakannya di sebelah kirinya. Ketika para sahabat (yang bermakmum) melihat
hal itu, mereka pun melemparkan sandal-sandal mereka. Ketika Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam selesai shalat beliau bertanya: ‘Mengapa kalian
melemparkan sandal-sandal kalian?’. Para sahabat menjawab: ‘Kami melihat anda
melemparkan sandal anda, maka kami pun melemparkan sandal kami’. Lalu
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat
Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dan mengabarkanku bahwa pada kedua sandalku
ada najis (dalam riwayat lain: kotoran)’. Lalu beliau bersabda: ‘Jika salah
seorang dari kalian datang ke masjid maka perhatikanlah kedua sandalnya, jika
ia melihat ada najis atau kotoran maka sentuhkanlah (ke tanah) lalu shalatlah
dengan keduanya‘” (HR. Abu Daud no. 650, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Abi
Daud).
Juga hadits dari Ummu Salamah radhiallahu’anha. Dari jalan Ummu Walad (disebut
juga: Hamidah), ia berkata:
قُلْتُ لأُمِّ سَلَمَةَ:
إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي وَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ القَذِرِ؟ فَقَالَتْ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
“Aku bertanya kepada Ummu Salamah: ‘saya
ini wanita yang panjang gaunnya dan saya biasa berjalan di tempat yang kotor’.
Ummu Salamah berkata: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘tanah
yang setelahnya sudah membersihkannya””(HR. Tirmidzi 143, ia
berkata: “hadits ini shahih”).
3. Cara membersihkan najasah mutawashitah
Yaitu yang bukan termasuk kedua jenis di atas, misalnya air
kencing secara umum, kotoran manusia (feces), bangkai, darah haid, dll. Maka cara
membersihkannya bisa dengan berbagai cara yang bisa menghilangkan semua
najisnya hingga tidak tersisa warna, bau dan rasanya. Bisa dengan menyiramnya,
atau membasuhnya, atau mencucinya, atau menyikatnya, atau menggunakan sabun,
atau menggunakan alat-alat kebersihan.
Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najasah (mutawashitah)
ketika ia bisa hilang dengan cara apapun, dengan alat apapun, maka itu sudah
cukup untuk mensucikannya. Tanpa disyaratkan adanya jumlah bilangan dan tidak
harus menggunakan air. Ini yang ditunjukkan oleh zhahir nash dalil-dalil.
Karena syariat dalam hal ini hanya memerintahkan untuk menghilangkan najis. Dan
najis itu terkadang hilang dengan menggunakan air, kadang dengan membasuhnya,
kadang dengan istijmar (menggunakan batu, kayu atau semisalnya), dan terkadang
dengan cara yang lain. Dan syariat tidak memerintahkan untuk menghilangkan
najis sebanyak tujuh kali, kecuali najis anjing. Sebagaimana juga pendapat ini
juga merupakan kelaziman dari nash dalil-dalil syar’i, karena pendapat ini
memiliki kesesuaian yang tinggi dengan nash. Karena penghilangan najis itu
adalah penghilangan sesuatu yang mahsuusah (bisa
diindera)”8.
Demikian semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam.
***
Penulis: Yulian Purnama - Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar