![]() |
Imam Syafi’i: Dzikir Setelah Shalat Tidak Dikeraskan |
Kalau kita mau melihat
perkataan Imam Syafi’i secara seksama yang dikatakan oleh Imam Nawawi, akan ada
petunjuk bahwa dzikir setelah shalat tidak perlu dikeraskan terus menerus.
Silakan kaji.
Dari Ibnu Jarir, ia
berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –bekas budak Ibnu ‘Abbas-
mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ
الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – . وَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat
wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas
berkata, “Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu,
yaitu jika aku mendengarnya.”
(HR. Bukhari, no. 805; Muslim, no. 583)
Dalam riwayat lainnya
disebutkan,
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- بِالتَّكْبِيرِ
“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806; Muslim, no. 583)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan mengenai hadits di atas, menurut sebagian ulama
salaf, disunnahkan mengeraskan bacaan takbir setelah shalat, termasuk pula
bacaan dzikir setelahnya. Di antara ulama belakangan yang menganjurkan adalah
Ibnu Hazm Az-Zahiri, begitu pula dinukil pendapat ini dari Ibnu Batthol dan
ulama lainnya. Sedangkan ulama madzhab dan selain mereka sepakat tidak
disunnahkan mengeraskan suara untuk dzikir setelah shalat, termasuk pula
takbir.
Adapun Imam Syafi’i rahimahullah memaknai hadits di atas bahwa waktu menjaherkan hanya
sebentar sekali sehingga diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berdzikir. Namun dzikir tadi bukan
dikeraskan terus menerus.
Cukup bagi imam dan
makmum berdzikir pada Allah setelah selesai shalat dengan disirrkan
(dilirihkan). Kecuali jika imam ingin mengajarkan pada makmum, maka ia boleh
menjaherkan hingga makmum itu paham, setelah itu tetap disirrkan (dilirihkan).
Demikian hadits tersebut dipahami. (Syarh Shahih Muslim, 5: 76)
Wallahu
waliyyut taufiq.
Referensi:
Al-
Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi.
Penerbit Dar Ibnu Hazm.
—
Oleh: Ustadz Muh. Abduh Tausikal
Sumber: Rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar