Rabu, 08 Februari 2017

Pembantaian yang Dilakukan Belanda di Pedalaman Aceh

Pembantaian yang Dilakukan Belanda di Pedalaman Aceh
Foto setelah aksi pembantaian atau genosida oleh Belanda di Kuto Reh, Aceh, pada 1904 yang diperkirakan menewaskan 4.000 orang. Foto/istimewa
Tanggal 8 Februari 1904, Belanda memulai ekspedisi militernya ke Gayo dan Alas di Aceh. Lalu terjadilah genosida: ribuan rakyat Aceh dua daerah itu dibantai.

Tirto.id - Pelabuhan Ulee Lheue di Banda Aceh siang itu mendadak riuh. Tiga kapal Belanda berukuran besar merapat, membawa ratusan orang yang diangkut dari tanah seberang. Tidak kurang dari 10 orang perwira, 13 bintara, serta ahli geologi dan tenaga medis berkebangsaan Eropa turut dalam rombongan tersebut.

Itu belum termasuk 473 orang mandor, puluhan kuli paksa, penunjuk jalan, serta 208 anggota marsose alias Korps Marechaussee te Voet, satuan militer yang bernaung di bawah Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda. 

Kendati berlabel penjajah, sebagian besar anggota marsose tersebut justru berasal dari orang lokal sendiri. Mereka adalah para pemuda yang diambil dari Jawa hingga Maluku untuk dijadikan sebagai prajurit kolonial, termasuk dalam menjalankan misi penting di tanah rencong. 

Hari itu, 8 Februari 1904, Belanda memulai operasi militer untuk mengakhiri Perang Aceh yang telah berlangsung selama puluhan tahun, sekaligus menangkap Cut Nyak Dien yang masih melakukan perlawanan dengan cara bergerilya. 

Yohannes Benedictus van Heutsz selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu memang sangat berambisi menguasai seluruh wilayah Aceh. Maklum, van Heutsz pernah terlibat langsung dalam Perang Aceh, bahkan sempat menjadi gubernur di wilayah tersebut, tetapi selalu gagal.

Misi Penaklukan Total

Dari Banda Aceh, rombongan pimpinan van Daalen bertolak ke Lhokseumawe yang merupakan tujuan akhir pelayaran mereka. Berikutnya, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang trem menuju Bireuen yang ditempuh dalam tempo sekitar 4 jam. 

Ratusan orang itu harus berjalan kaki dari Bireuen. Jalur satu-satunya untuk mencapai Gayo memang hanya jalan darat dengan medan pegunungan yang sulit di pedalaman Aceh itu. Long march menuju Gayo pun dijalani dengan memakan waktu hingga 163 hari (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:229).

Ekspedisi ke tanah Gayo dan Alas itu sendiri bermula dari laporan hasil riset Snouck Hurgronje bertajuk "Het Gajolan en Zijn Bewoners" atau “Tanah Gayo dan Penduduknya” kepada van Heutsz. Sang Gubernur Jenderal pun segera merespons dengan menunjuk Gotfried Coenraad Ernst van Daalen sebagai pemimpin operasi militer ke Aceh.

Dipilihnya van Daalen tentunya bukan tanpa alasan. Keluarga van Daalen sudah sangat berpengalaman di Aceh. Ayah Gotfried, van Daalen Sr., pernah menjabat kapten dalam Perang Aceh periode kedua (1874-1880), tapi gagal menyelesaikan misinya. Van Daalen muda pun sangat antusias menerima penunjukan itu sekaligus untuk menuntaskan tugas bapaknya.

Belakangan, Hurgronje justru muak dengan aksi van Daalen yang dinilainya melampaui batas dalam ekspedisi ke Aceh pada 1904 itu. Namun tidak demikian dengan van Heutsz. Ia bahkan menyebut van Daalen sebagai sosok yang “terkadang kasar dan keras, sangat ketat dan semena-mena dalam aksinya, tapi juga dapat melindungi dan memaafkan.”

Setelah melalui berbagai rintangan, mulai dari kondisi medan yang sulit, kian menipisnya cadangan logistik, hingga serangan-serangan mendadak yang dilancarkan oleh kaum gerilyawan, rombongan van Daalen akhirnya sampai juga di tanah Gayo. Misi penaklukan total pun dimulai.

Sesaat setelah tiba, van Daalen langsung mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo agar mereka segera menghadap. Van Daalen menghendaki para pemimpin rakyat itu menandatangani perjanjian takluk seperti yang telah dilakukan oleh banyak pemimpin rakyat di wilayah Aceh lainnya (Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, 2014:280).

Respons para pemimpin Gayo ternyata di luar dugaan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memenuhi undangan itu. Van Daalen yang murka kemudian menggerakkan pasukan untuk menyisir satu demi satu perkampungan di wilayah tersebut. Raja-raja dan pemuka masyarakat dipaksa datang. Jika tetap enggan, moncong senjata yang akan berbicara.

Aksi Pembantaian Massal

Rakyat Gayo bersikukuh, tidak sudi takluk dan memilih terus melawan. Orang-orang Gayo punya ciri khas dalam berperang atau mempertahankan diri. Semua penghuni desa tanpa kecuali berkumpul di benteng-benteng dari bambu dan semak berduri untuk menahan gempuran musuh.

Sebagian besar dari mereka memakai pakaian serba putih untuk menandakan bahwa inilah perang suci melawan kaum kafir. Meskipun dengan senjata seadanya ditambah munajat kepada Sang Pencipta, rakyat Gayo melawan sampai titik darah penghabisan. Mereka lebih baik mati di jalan Tuhan ketimbang menjadi tawanan.

Van Daalen sendiri tidak menerapkan taktik khusus, ia hanya memerintahkan agar seluruh musuh dibasmi tanpa ampun. Deli Courant (1940) menyebutkan, dalam suatu penaklukan di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai, korban tewas terdiri dari 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Itu baru korban di satu desa, belum di desa-desa Gayo lainnya.

Tak hanya di Gayo, aksi genosida ala Belanda terus berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara. Salah satu insiden paling keji terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuto Reh. Menurut Asnawi Ali, mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada 2.922 orang tewas dalam tragedi itu, yakni 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua.


Fakta yang lebih mengejutkan sebelumnya justru telah diungkap oleh ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees. Dalam laporan berjudul "De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden" (1904), Kempees menyebut bahwa ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh itu setidaknya memakan korban nyawa hingga 4.000 orang.

Masih dalam laporannya itu, Kempees juga menyertakan foto-foto yang menjadi bukti bahwa telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang dari Suku Gayo maupun Alas. Setiap kali usai penyerbuan, van Daalen memang memerintahkan ajudannya untuk memotret tumpukan-tumpukan mayat dengan para marsose yang berpose di sekitarnya (Dien Madjid, 2014: 282). 

Ekspedisi militer Belanda ke pedalaman Aceh yang berlanjut hingga ke tanah Karo di Sumatera Utara itu boleh dibilang menjadi babak akhir Perang Aceh. Dalam rangkaian aksi tersebut, Cut Nyak Dhien akhirnya tertangkap dan kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, hingga wafat.

Meskipun Cut Nyak Dien sebagai pimpinan terakhir telah ditangkap, tetapi para pejuang dan rakyat Aceh terus melakukan perlawanan terhadap Belanda kendati dalam skala yang lebih kecil. Itu berlangsung bahkan hingga Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942.

Berbeda dengan kasus Westerling dan sejumlah luka sejarah lainnya, hingga saat ini pihak Belanda belum pernah meminta maaf secara resmi terkait pembantaian yang terjadi di pedalaman Serambi Mekkah yang berlangsung selama 3 bulan di tahun 1904 tersebut. 

Sumber: Tirto.Id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar