Foto setelah aksi pembantaian atau genosida oleh Belanda di Kuto Reh, Aceh, pada 1904 yang diperkirakan menewaskan 4.000 orang. Foto/istimewa |
Tanggal 8 Februari 1904, Belanda memulai ekspedisi militernya ke
Gayo dan Alas di Aceh. Lalu terjadilah genosida: ribuan rakyat Aceh dua daerah
itu dibantai.
Tirto.id - Pelabuhan Ulee
Lheue di Banda Aceh siang itu mendadak riuh. Tiga kapal Belanda berukuran besar
merapat, membawa ratusan orang yang diangkut dari tanah seberang. Tidak kurang
dari 10 orang perwira, 13 bintara, serta ahli geologi dan tenaga medis berkebangsaan
Eropa turut dalam rombongan tersebut.
Itu belum termasuk 473 orang mandor, puluhan kuli paksa, penunjuk jalan, serta
208 anggota marsose alias Korps Marechaussee te Voet, satuan militer yang
bernaung di bawah Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) alias Tentara
Kerajaan Hindia Belanda.
Kendati berlabel penjajah, sebagian besar anggota marsose tersebut justru
berasal dari orang lokal sendiri. Mereka adalah para pemuda yang diambil dari
Jawa hingga Maluku untuk dijadikan sebagai prajurit kolonial, termasuk dalam
menjalankan misi penting di tanah rencong.
Hari itu, 8 Februari 1904, Belanda memulai operasi militer untuk mengakhiri
Perang Aceh yang telah berlangsung selama puluhan tahun, sekaligus menangkap
Cut Nyak Dien yang masih melakukan perlawanan dengan cara bergerilya.
Yohannes Benedictus van Heutsz selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu memang sangat berambisi
menguasai seluruh wilayah Aceh. Maklum, van Heutsz pernah terlibat langsung
dalam Perang Aceh, bahkan sempat menjadi gubernur di wilayah tersebut, tetapi
selalu gagal.
Misi Penaklukan Total
Dari Banda Aceh, rombongan pimpinan van Daalen bertolak ke
Lhokseumawe yang merupakan tujuan akhir pelayaran mereka. Berikutnya,
perjalanan dilanjutkan dengan menumpang trem menuju Bireuen yang ditempuh dalam
tempo sekitar 4 jam.
Ratusan orang itu harus berjalan kaki dari Bireuen. Jalur satu-satunya untuk
mencapai Gayo memang hanya jalan darat dengan medan pegunungan yang sulit di
pedalaman Aceh itu. Long
march menuju
Gayo pun dijalani dengan memakan waktu hingga 163 hari (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:229).
Ekspedisi ke tanah Gayo dan Alas itu sendiri bermula dari laporan hasil riset
Snouck Hurgronje bertajuk "Het Gajolan en Zijn Bewoners" atau “Tanah
Gayo dan Penduduknya” kepada van Heutsz. Sang Gubernur Jenderal pun segera merespons
dengan menunjuk Gotfried Coenraad Ernst van Daalen sebagai pemimpin
operasi militer ke Aceh.
Dipilihnya van Daalen tentunya bukan tanpa alasan. Keluarga van Daalen sudah
sangat berpengalaman di Aceh. Ayah Gotfried, van Daalen Sr., pernah menjabat kapten
dalam Perang Aceh periode kedua (1874-1880), tapi gagal menyelesaikan misinya.
Van Daalen muda pun sangat antusias menerima penunjukan itu sekaligus
untuk menuntaskan tugas bapaknya.
Belakangan, Hurgronje justru muak dengan aksi van Daalen yang dinilainya
melampaui batas dalam ekspedisi ke Aceh pada 1904 itu. Namun tidak demikian
dengan van Heutsz. Ia bahkan menyebut van Daalen sebagai sosok yang “terkadang
kasar dan keras, sangat ketat dan semena-mena dalam aksinya, tapi juga dapat
melindungi dan memaafkan.”
Setelah melalui berbagai rintangan, mulai dari kondisi medan yang sulit,
kian menipisnya cadangan logistik, hingga serangan-serangan mendadak yang
dilancarkan oleh kaum gerilyawan, rombongan van Daalen akhirnya sampai juga di
tanah Gayo. Misi penaklukan total pun dimulai.
Sesaat setelah tiba, van Daalen langsung mengirimkan surat kepada raja-raja
Gayo agar mereka segera menghadap. Van Daalen menghendaki para pemimpin rakyat
itu menandatangani perjanjian takluk seperti yang telah dilakukan oleh banyak
pemimpin rakyat di wilayah Aceh lainnya (Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, 2014:280).
Respons para pemimpin Gayo ternyata di luar dugaan. Tidak ada satu pun dari
mereka yang memenuhi undangan itu. Van Daalen yang murka kemudian menggerakkan
pasukan untuk menyisir satu demi satu perkampungan di wilayah tersebut.
Raja-raja dan pemuka masyarakat dipaksa datang. Jika tetap enggan, moncong
senjata yang akan berbicara.
Aksi
Pembantaian Massal
Rakyat Gayo bersikukuh, tidak sudi takluk dan memilih terus
melawan. Orang-orang Gayo punya ciri khas dalam berperang atau mempertahankan
diri. Semua penghuni desa tanpa kecuali berkumpul di benteng-benteng dari bambu
dan semak berduri untuk menahan gempuran musuh.
Sebagian besar dari mereka memakai pakaian serba putih untuk menandakan bahwa
inilah perang suci melawan kaum kafir. Meskipun dengan senjata seadanya
ditambah munajat kepada Sang Pencipta, rakyat Gayo melawan sampai titik darah
penghabisan. Mereka lebih baik mati di jalan Tuhan ketimbang menjadi tawanan.
Van Daalen sendiri tidak menerapkan taktik khusus, ia hanya memerintahkan agar
seluruh musuh dibasmi tanpa ampun. Deli
Courant (1940)
menyebutkan, dalam suatu penaklukan di salah satu desa di Gayo, ratusan warga
dibantai, korban tewas terdiri dari 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Itu
baru korban di satu desa, belum di desa-desa Gayo lainnya.
Tak hanya di Gayo, aksi genosida ala Belanda terus berlanjut ke wilayah
Suku Alas di Aceh Tenggara. Salah satu insiden paling keji terjadi pada 14 Juni
1904 di Kuto Reh. Menurut Asnawi Ali, mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
ada 2.922 orang tewas dalam tragedi itu, yakni 1.773 laki-laki dan 1.149
perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua.
Fakta yang lebih mengejutkan sebelumnya justru telah diungkap oleh
ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees. Dalam laporan berjudul "De tocht van
Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden" (1904), Kempees
menyebut bahwa ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh itu setidaknya
memakan korban nyawa hingga 4.000 orang.
Masih dalam laporannya itu, Kempees juga
menyertakan foto-foto yang menjadi bukti bahwa telah terjadi pembantaian
besar-besaran terhadap orang-orang dari Suku Gayo maupun Alas. Setiap kali
usai penyerbuan, van Daalen memang memerintahkan ajudannya untuk memotret
tumpukan-tumpukan mayat dengan para marsose yang berpose di sekitarnya (Dien
Madjid, 2014: 282).
Ekspedisi militer Belanda ke pedalaman Aceh yang
berlanjut hingga ke tanah Karo di Sumatera Utara itu boleh dibilang menjadi
babak akhir Perang Aceh. Dalam rangkaian aksi tersebut, Cut Nyak Dhien akhirnya
tertangkap dan kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, hingga wafat.
Meskipun Cut Nyak Dien sebagai pimpinan terakhir
telah ditangkap, tetapi para pejuang dan rakyat Aceh terus melakukan perlawanan
terhadap Belanda kendati dalam skala yang lebih kecil. Itu berlangsung bahkan
hingga Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942.
Berbeda dengan kasus Westerling dan sejumlah
luka sejarah lainnya, hingga saat ini pihak Belanda belum pernah meminta maaf
secara resmi terkait pembantaian yang terjadi di pedalaman Serambi Mekkah yang
berlangsung selama 3 bulan di tahun 1904 tersebut.
Sumber: Tirto.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar